Masa
kecil yang kurang mengesankan di TK. Melati, TK. Melati ini terletak dekat
dengan tempat tinggalku di Jalan Sumbawa 1 Pasar 3 kelurahan Rengas Pulo No.118
Komplek Marelan Indah Medan, Sumatera Utara, waktu itu tahun 1998, awal aku menduduki
bangku dan meja mungil berwarna warni
dengan siswa-siswi yang mukanya masih asing buat aku. Sebelum kami masuk ruang
kelas kami berbaris didepan kelas sambil bernyanyi dan mengelilingi macam-macam
mainan di TK, kemudian masuk ke kelas, duduk dan langsung membaca doa, seperti itulah hari-hari seterusnya. One day waktu pembagian seragam sekolah
aku enggak kebagian, sampai akhirnya mata aku berkaca-kaca dan nggak lama
kemudian air mata pun keluar, padahal sebab aku belum bisa mendapatkan
seragamnya karena aku masih dikelas play
group, yah namanya juga masih kecil, mana tau yang gituan, akhirnya cuma
gara-gara tetesan air mata itu aku bisa dapat seragamnya lebih awal dari pada
teman-teman playgroup yang lain.
Ada
satu kisah waktu aku masih TK, waktu itu aku cuma berdua sama Ibu dirumah,
sedangkan kakak-kakakku sekolah dan ayah dikantor, aku main di mesin jahit, Ibuku
lagi nerima tamu, jadi sangking penasarannya sama jarum dimesin jahit itu aku
ngejahit salah satu jariku sendiri, dan gilanya tusukan yang aku rasain gak cuma
sekali, bisa jadi mungkin tiga kali, layaknya anak kecil, aku pasti nangis tapi
herannya sebelum nangis dengan suara yang besar aku sempat diam mendesah dan
bertanya kenapa sakit, baru lah suara tangisan memanggil Ibu keluar dengan
volume yang kencang.
TK
adalah masa kecilku, lingkungan yang sepi membuatku berdiam diri dirumah
sedangkan teman sekelas yang tinggal jauh membuatku jarang bermain. Tapi semua
orang senag dengan aku dan kakak-kakakku, karena kami tergolong anak-anak yang
bersih terhadap lingkungan, itu semua berkat bimbingan sang Ibu tercinta yang
selalu merawat dan memberi yang terbaik untuk anak-anaknya. Waktu kecil, aku
adalah anak yang sangat membangkang, terutama sama orang tua, mulut ini suka
menghina orang tua, gigi susuku suka mengigit tangan Ayah, tanganku suka merusak barang-barang disekitar
khususnya lemari es, dan kakiku suka menendang orang tua, semua itu aku lakukan
karena permintaanku yang sulit mereka kabulkan.
Waktu
aku dan keluargaku masih tinggal diMedan kehidupan kami tergolang sederhana,
bahkan sempat jatuh miskin bebera bulan ketika aku dilahirkan, bayangkan gaji
ayah cuma 75.000,-/bulannnya untuk membiayai istri dan empat orang anaknya,
ayah kekantor dari pagi dan kembali kerumah dimalam hari dengan vespa
kesayangannya, dan kadang-kadang Ibu dapat kiriman uang dari kampung halaman
diAceh, dari situlah sumber kehidupan kami disamping minimnya gaji Ayah. Tapi alhamdulillah
waktu aku TK gaji Ayah kembali stabil. Sampai diakhir pertengahan tahun saat
aku TK Ayah ditugaskan ke kota Lhokseumawe di Aceh, waktu itu masa-masa
ributnya Aceh.
Karena
Ayah ditugaskan diAceh aku dan keluarga jadi jarang bertemu dengan ayah,
apalagi karena kasus GAM, Ayah jadi susah untuk balik ke Medan. DiMedan kami
tinggal dengan seseorang wanita yang membantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah,
tapi suatu hari wanita itu lari dari rumah, dia meninggalkan surat yang isinya
dia gak sanggup lagi tinggal dengan keluarga kami, mungkin karena pekerjaannya
selalu mengecewakan Ibu sehingga Ibu jadi sering menasihatinya. Hari itu
benar-benar membuat keadaan rumah tak terkendali, Ayah yang jauh disana pasti
bingung juga sama kejadian itu, lebih lagi malam harinya lampu padam, Ibu
tinggal sama keempat anaknya yang masih kecil.
Ada
lagi kisah yang lain. Waktu itu tanggal 17 agustus 1999, masa-masa terakhirku
di TK, hari itu kelasku diundang oleh
Radio Republik Indonesia (RRI) Medan untuk paduan suara. Jadi, sepulang dari RRI,
dua orang kakakku menjemputku dari sekolah, sedikit terkejut waktu aku turun
dari bis. Mereka langung memanggil aku dan mengatakan kalau sekarang aku udah
punya teman, kata-kata itu masih sedikit membingungkanku. Sesampainya aku
dirumah aku masih belum menemukan jawabannya. Yang aku lihat disekitaranku
adalah orang-orang dewasa. Dalam hatiku, apakah ini yang mereka bilang teman ?
tentu aku gak suka itu, karena aku benci dengan keramaian.
Tapi
ternyata jawabanku salah, 17 agustus adalah hari republik Indonesia meraih
kemerdekaan, saat itu juga Ibu dan Ayahku dikaruniai seorang anak laki-laki dan
tentu saja dia adikku, dia perantara Tuhan untuk mengakhiri statusku sebagai
anak bungsu dan menjadi seorang abang. Tapi sayang, waktu kelahirnya sedikit menyedihkan.
Ayah nggak ada ditempat waktu kelahiran anak bungsunya, dan adikku lahir dalam
keadaan tidak normal dibagian kakinya, kakinya membengkok ke satu arah yang
sama, kaki kirinya menghadap kekanan dan kaki kanannya menghadap kekiri. Tapi
apalah arti ketidak normalan kakinya dibandingkan dengan keselamatannya, karena
kata Ibu kelahiran adik sedikit susah disebabkan ia terlilit tali pusat, tapi
alhamdulillah ia lahir dengan selamat.
Tibalah
tahun 2000, waktunya aku dan keluarga pindah ke kota Lhokseumawe tempat Ayah
bertugas. Aku lihat banyak tetangga yang hadir dirumah, mereka memberikan
beberapa kenang-kenangan untuk kami, dan juga ada Ibu-ibu yang nangis karena
kepindahan kami ke Aceh. Dulu, aku lebih memilih tinggal diAceh, entah kenapa
waktu itu Lhokseumawe sangat berkesan buat aku, mungkin karena dulu aku pernah
dibawa ayah berlibur ke sana. Apa lagi waktu liburan itu lampu dikota Lhokseumawe
lagi padam sambil menikmati hujan dimalam hari bersama ayah dan kakakku,
saayang Ibu diMedan gak bisa ikut karena adikku masih bayi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar