Senin, 26 Maret 2012

Pre Elemantary School ( 1998-2000 ) TK. Melati Medan


Masa kecil yang kurang mengesankan di TK. Melati, TK. Melati ini terletak dekat dengan tempat tinggalku di Jalan Sumbawa 1 Pasar 3 kelurahan Rengas Pulo No.118 Komplek Marelan Indah Medan, Sumatera Utara, waktu itu tahun 1998, awal aku menduduki bangku dan meja  mungil berwarna warni dengan siswa-siswi yang mukanya masih asing buat aku. Sebelum kami masuk ruang kelas kami berbaris didepan kelas sambil bernyanyi dan mengelilingi macam-macam mainan di TK, kemudian masuk ke kelas, duduk dan langsung membaca doa,  seperti itulah hari-hari seterusnya. One day waktu pembagian seragam sekolah aku enggak kebagian, sampai akhirnya mata aku berkaca-kaca dan nggak lama kemudian air mata pun keluar, padahal sebab aku belum bisa mendapatkan seragamnya karena aku masih dikelas play group, yah namanya juga masih kecil, mana tau yang gituan, akhirnya cuma gara-gara tetesan air mata itu aku bisa dapat seragamnya lebih awal dari pada teman-teman playgroup yang lain. 
Ada satu kisah waktu aku masih TK, waktu itu aku cuma berdua sama Ibu dirumah, sedangkan kakak-kakakku sekolah dan ayah dikantor, aku main di mesin jahit, Ibuku lagi nerima tamu, jadi sangking penasarannya sama jarum dimesin jahit itu aku ngejahit salah satu jariku sendiri, dan gilanya tusukan yang aku rasain gak cuma sekali, bisa jadi mungkin tiga kali, layaknya anak kecil, aku pasti nangis tapi herannya sebelum nangis dengan suara yang besar aku sempat diam mendesah dan bertanya kenapa sakit, baru lah suara tangisan memanggil Ibu keluar dengan volume yang kencang.
TK adalah masa kecilku, lingkungan yang sepi membuatku berdiam diri dirumah sedangkan teman sekelas yang tinggal jauh membuatku jarang bermain. Tapi semua orang senag dengan aku dan kakak-kakakku, karena kami tergolong anak-anak yang bersih terhadap lingkungan, itu semua berkat bimbingan sang Ibu tercinta yang selalu merawat dan memberi yang terbaik untuk anak-anaknya. Waktu kecil, aku adalah anak yang sangat membangkang, terutama sama orang tua, mulut ini suka menghina orang tua, gigi susuku suka mengigit tangan Ayah,  tanganku suka merusak barang-barang disekitar khususnya lemari es, dan kakiku suka menendang orang tua, semua itu aku lakukan karena permintaanku yang sulit mereka kabulkan.
Waktu aku dan keluargaku masih tinggal diMedan kehidupan kami tergolang sederhana, bahkan sempat jatuh miskin bebera bulan ketika aku dilahirkan, bayangkan gaji ayah cuma 75.000,-/bulannnya untuk membiayai istri dan empat orang anaknya, ayah kekantor dari pagi dan kembali kerumah dimalam hari dengan vespa kesayangannya, dan kadang-kadang Ibu dapat kiriman uang dari kampung halaman diAceh, dari situlah sumber kehidupan kami disamping minimnya gaji Ayah. Tapi alhamdulillah waktu aku TK gaji Ayah kembali stabil. Sampai diakhir pertengahan tahun saat aku TK Ayah ditugaskan ke kota Lhokseumawe di Aceh, waktu itu masa-masa ributnya Aceh.
Karena Ayah ditugaskan diAceh aku dan keluarga jadi jarang bertemu dengan ayah, apalagi karena kasus GAM, Ayah jadi susah untuk balik ke Medan. DiMedan kami tinggal dengan seseorang wanita yang membantu Ibu mengerjakan pekerjaan rumah, tapi suatu hari wanita itu lari dari rumah, dia meninggalkan surat yang isinya dia gak sanggup lagi tinggal dengan keluarga kami, mungkin karena pekerjaannya selalu mengecewakan Ibu sehingga Ibu jadi sering menasihatinya. Hari itu benar-benar membuat keadaan rumah tak terkendali, Ayah yang jauh disana pasti bingung juga sama kejadian itu, lebih lagi malam harinya lampu padam, Ibu tinggal sama keempat anaknya yang masih kecil.
Ada lagi kisah yang lain. Waktu itu tanggal 17 agustus 1999, masa-masa terakhirku di TK,  hari itu kelasku diundang oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Medan untuk paduan suara. Jadi, sepulang dari RRI, dua orang kakakku menjemputku dari sekolah, sedikit terkejut waktu aku turun dari bis. Mereka langung memanggil aku dan mengatakan kalau sekarang aku udah punya teman, kata-kata itu masih sedikit membingungkanku. Sesampainya aku dirumah aku masih belum menemukan jawabannya. Yang aku lihat disekitaranku adalah orang-orang dewasa. Dalam hatiku, apakah ini yang mereka bilang teman ? tentu aku gak suka itu, karena aku benci dengan keramaian.
Tapi ternyata jawabanku salah, 17 agustus adalah hari republik Indonesia meraih kemerdekaan, saat itu juga Ibu dan Ayahku dikaruniai seorang anak laki-laki dan tentu saja dia adikku, dia perantara Tuhan untuk mengakhiri statusku sebagai anak bungsu dan menjadi seorang abang. Tapi sayang, waktu kelahirnya sedikit menyedihkan. Ayah nggak ada ditempat waktu kelahiran anak bungsunya, dan adikku lahir dalam keadaan tidak normal dibagian kakinya, kakinya membengkok ke satu arah yang sama, kaki kirinya menghadap kekanan dan kaki kanannya menghadap kekiri. Tapi apalah arti ketidak normalan kakinya dibandingkan dengan keselamatannya, karena kata Ibu kelahiran adik sedikit susah disebabkan ia terlilit tali pusat, tapi alhamdulillah ia lahir dengan selamat.
Tibalah tahun 2000, waktunya aku dan keluarga pindah ke kota Lhokseumawe tempat Ayah bertugas. Aku lihat banyak tetangga yang hadir dirumah, mereka memberikan beberapa kenang-kenangan untuk kami, dan juga ada Ibu-ibu yang nangis karena kepindahan kami ke Aceh. Dulu, aku lebih memilih tinggal diAceh, entah kenapa waktu itu Lhokseumawe sangat berkesan buat aku, mungkin karena dulu aku pernah dibawa ayah berlibur ke sana. Apa lagi waktu liburan itu lampu dikota Lhokseumawe lagi padam sambil menikmati hujan dimalam hari bersama ayah dan kakakku, saayang Ibu diMedan gak bisa ikut karena adikku masih bayi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar